Kinerja Pembangunan Kawasan
Timur Indonesia
GBHN 1993 mengamanatkan perlunya menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah serta melaksanakan otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis, dan bertanggungjawab di dalam suatu kesatuan Wawasan Nusantara. Implikasinya adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan daerah tidaklah sekedar memberikan kompensasi alokasi finansial kepada propinsi atau kawasan yang relatif tertinggal, akan tetapi justru lebih difokuskan untuk dapat menumbuhkan sikap kemandirian dari masing-masing daerah tersebut untuk dapat mengelola dan mengembangkan potensi sumberdaya yang dimiliki demi kepentingan daerah yang bersangkutan pada khususnya maupun kepentingan nasional pada umumnya.
GBHN 1993 mengamanatkan perlunya menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah serta melaksanakan otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis, dan bertanggungjawab di dalam suatu kesatuan Wawasan Nusantara. Implikasinya adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan daerah tidaklah sekedar memberikan kompensasi alokasi finansial kepada propinsi atau kawasan yang relatif tertinggal, akan tetapi justru lebih difokuskan untuk dapat menumbuhkan sikap kemandirian dari masing-masing daerah tersebut untuk dapat mengelola dan mengembangkan potensi sumberdaya yang dimiliki demi kepentingan daerah yang bersangkutan pada khususnya maupun kepentingan nasional pada umumnya.
Selama PJP I, perkembangan ekonomi
antardaerah memperlihatkan kecenderungan bahwa propinsi-propinsi di Pulau
Jawa pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan
dengan propinsi lainnya di luar Jawa. Perbedaan perkembangan antardaerah
tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan kesejahteraan dan kemajuan
antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia
(KBI) dengan kawasan timur Indonesia (KTI), dan antara daerah perkotaan
dengan daerah perdesaan. Disamping itu, masih ditemui daerah-daerah yang
relatif tertinggal dibandingkan daerah lain, yaitu daerah terpencil, daerah
minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya.
Dalam PJP II, wilayah kawasan timur
Indonesia (KTI) yang secara definitif meliputi 13 propinsi yang ada di
wilayah Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan timur, telah diberikan prioritas
untuk dikembangkan dalam upaya untuk memperkecil tingkat kesenjangan yang
terjadi antara kawasan barat Indonesia dengan KTI selama PJP I yang lalu.
Sebenarnya, sejak lima tahun terkahir ini upaya untuk mempercepat pembangunan
dan mengembangkan KTI telah banyak dilakukan melalui berbagai kebijaksanaan
dan program pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah, serta melalui
berbagai seminar, lokakarya, rapat kerja, sarasehan yang membahas masalah
pembangunan KTI yang dilakukan baik oleh pemerintah, pihak perguruan tinggi,
maupun pihak dunia usaha swasta.
Dalam membangun KTI, terdapat beberapa
faktor pokok yang perlu diberikan perhatian lebih mendalam dalam memformulasikan
strategi pengembangannya, yaitu: (a) adanya keanekaragaman situasi dan
kondisi daerah-daerah di KTI yang memerlukan kebijaksanaan serta solusi
pembangunan yang disesuaikan dengan kepentingan setempat (local needs);
(b) perlunya pendekatan pembangunan yang dilaksanakan secara terpadu dan
menggunakan pendekatan perwilayahan; (c) perencanaan pembangunan di daerah
harus memperhatikan serta melibatkan peranserta masyarakat; serta (d) peningkatan
serta pengembangan sektor pertanian yang tangguh untuk dapat menanggulangi
masalah kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan melalui peningkatan
pendapatan masyarakat khususnya dalam bidang agribisnis dan agroindustri,
serta penyediaan berbagai sarana dan prasarana lapangan kerja.
Selain itu, dalam memformulasikan
strategi pengembangan KTI terdapat tiga pertimbangan pokok terhadap potensi
dan peluang yang dimiliki KTI, yaitu: (a) beberapa propinsi di KTI merupakan
daerah yang kaya akan sumberdaya alam yang memiliki potensi untuk dikembangkan,
yang pada gilirannya dapat pula dikembangkan menjadi kawasan pusat-pusat
pertumbuhan; (b) jumlah penduduk yang relatif sedikit dengan penyebaran
yang tidak merata dibandingkan luas wilayah, merupakan "katup pengaman"
bagi program transmigrasi penduduk dari wilayah KBI yang relatif lebih
padat; serta (c) adanya komitmen pemerintah untuk melaksanakan pembangunan
yang memperhatikan aspek pemerataan dalam rangka memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa.
Strategi pengembangan wilayah KTI
pada dasarnya merupakan strategi atau langkah-langkah kebijaksanaan yang
bertahap, yakni mencakup tiga tingkatan strategi: mikro, meso, dan makro.
Strategi tingkat mikro bertujuan untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan
dasar, membantu daerah dalam mencapai kemandirian ekonomi, mendorong pengembangan
potensi ekspor daerah, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian
nasional. Strategi tingkat meso mengupayakan identifikasi keterkaitan fisik
dan ekonomi antarpropinsi agar dapat diciptakan pusat-pusat pengembangan
antarwilayah di kawasan yang bersangkutan. Sedangkan strategi tingkat makro
lebih difokuskan pada pengembangan prasarana transportasi intra dan antarwilayah
sebagai bagian dari sistem transpotasi nasional, pemanfaatan sumberdaya
alam secara tepat dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, peningkatan
peranserta sektor swasta, penguatan kelembagaan pemerintah dan masyarakat
termasuk peranserta aktif dari kalangan perguruan tinggi sebagai bagian
dari upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia di KTI.
Sejalan dengan upaya tersebut,
salah satu komitmen pemerintah yang cukup nyata dalam mempercepat pengembangan
KTI dalam PJP II adalah dengan dibentuknya Dewan Pengembangan KTI (DP-KTI)
melalui Keppres No. 120 Tahun 1993 tentang Dewan Pengembangan KTI, yang
diketuai langsung oleh Bapak Presiden RI dan beranggotakan 17 menteri/ketua
LPND. Untuk lebih meningkatkan bobot kebijaksanaan yang ditetapkan Dewan,
dibentuk 4 pokja yang meliputi bidang-bidang: (i) pengembangan sumber daya
manusia dan teknologi, (ii) sumber daya alam dan lingkungan, (iii) prasarana,
dan (iv) kelembagaan, serta 1 kelompok kerjasama pembangunan daerah antarBappeda
se-KTI. Sejak terbentuknya, Dewan telah melaksanakan beberapa kali pertemuan
tingkat anggota Dewan dan telah menghasilkan berbagai keputusan yang berbobot
kebijaksanaan makro yang dijabarkan secara lebih operasional oleh masing-masing
departemen/LPND terkait.
Sebagaimana telah ditetapkan, fungsi
dari DP-KTI adalah sebagai wadah bagi perumusan dan penetapan kebijakan
dan strategi untuk mempercepat pembangunan di KTI, termasuk penentuan tahapan
dan prioritas pelaksanaannya. Untuk itu, selain dari beberapa kelompok
kerja yang telah dibentuk diatas, secara fungsional juga telah dibentuk
beberapa tim khusus (adhoc) yang bertugas untuk menyusun berbagai kajian
dan rumusan kebijaksanaan bagi pengembangan bidang-bidang tertentu yang
potensial di kawasan timur Indonesia, seperti (i) tim perumus pemberian
insentif investasi, (ii) tim penyiapan kawasan andalan Biak sebagai daerah
otorita, (iii) tim budidaya ikan tuna dan ternak, serta (iv) tim budidaya
rotan. Tugas dari masing-masing tim yang bersifat temporer tersebut, diharapkan
dapat memberikan masukan bagi DP-KTI dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan
KTI secara lebih berdayaguna dan berhasilguna.
Kendala dan Tantangan Pembangunan
Kawasan Timur Indonesia
Pemerintah juga menyadari bahwa
kendala-kendala pembangunan seperti kurangnya ketersediaan prasarana dan
sarana dasar ekonomi, terbatasnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia
serta kendala geografis yang relatif terisolasi merupakan masalah utama
bagi pengembangan KTI. Beberapa propinsi yang lebih cepat berkembang memiliki
jumlah dan kualitas prasarana dan sarana yang relatif lebih baik dibandingkan
propinsi lainnya, seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, serta
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Begitu pula dengan jaringan transportasi,
telekomunikasi, dan energi listrik, ketersediaan dan kualitas pelayanannya
di wilayah KTI masih harus ditingkatkan.
Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan
berkurangnya tingkat kesenjangan pembangunan antardaerah, khususnya antara
wilayah KBI dengan wilayah KTI, perlu diupayakan dukungan dari investasi
pemerintah yang lebih memadai pada wilayah-wilayah tertinggal. Dukungan
investasi pemerintah yang memadai tersebut perlu pula dibarengi dengan
penciptaan dan perbaikan iklim investasi yang pada gilirannya akan menunjang
peran serta investasi dari pihak swasta untuk dapat menanamkan modalnya
pada wilayah-wilayah yang relatif masih tertinggal tersebut. Disamping
itu, mengingat luasnya wilayah dan sulitnya kondisi alam, serta terbatasnya
sumberdaya dan dana yang tersedia di kawasan ini, pembangunan prasarana
dan sarana tersebut perlu diprioritaskan pada wilayah-wilayah yang telah
dan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan.
Meskipun kita terbuka bagi penanaman
modal dari sektor manapun, namun pertimbangan aspek pemerataan perlu dijadikan
landasan pokok dalam strategi pengembangan ekonomi rakyat dan usaha nasional,
yaitu untuk menumbuhkan sikap dan jiwa wiraswasta serta keterampilan pengusaha
daerah setempat. Disamping itu pula, dirasakan perlu untuk meningkatkan
kualitas perencanaan.
Telah kita sadari bahwa salah satu
kendala utama pembangunan di wilayah KTI adalah masih kurangnya tenaga
terampil dan terdidik yang mencerminkan rendahnya kuantitas dan kualitas
sumberdaya manusia setempat. Dilain pihak, daya tarik wilayah KBI lebih
kuat terutama disebabkan oleh kurangnya lapangan kerja yang tersedia untuk
menyerap angkatan kerja yang ada. Sesuai dengan sasaran skenario pengembangan
regional kita, pada akhir Repelita VI di wilayah KTI akan terjadi pertambahan
lapangan kerja sebanyak 2,187 juta orang, yang dihasilkan oleh laju pertumbuhan
rata-rata lapangan kerja dan angkatan kerja di wilayah KTI sebesar 2,9%
per tahun. Dengan demikian, pada akhir Repelita VI diperkirakan akan terjadi
kelebihan angkatan kerja sebanyak 121 ribu orang. Hal yang sama terjadi
pada wilayah KBI, dimana pada akhir Repelita VI akan kelebihan angkatan
kerja sebanyak 935 ribu orang.
Selanjutnya apabila ditinjau berdasarkan
sebaran menurut propinsi dan wilayahnya, terlihat bahwa terdapat beberapa
propinsi di wilayah KTI yang akan mengalami kekurangan angkatan kerja,
seperti di wilayah Kalimantan yang secara keseluruhan kekurangan angkatan
kerja sebanyak 173 ribu orang, yang tersebar di Kalimantan Barat (52 ribu),
Kalimantan Tengah (32 ribu), Kalimantan Selatan (33 ribu), dan Kalimantan
Timur (8 ribu). Selain pada propinsi-propinsi di wilayah Kalimantan, propinsi
lainnya di wilayah KTI yang pada akhir Repelita VI akan kekurangan angkatan
kerja adalah Maluku (22 ribu) dan Irian Jaya (9 ribu). Adanya kekurangan
angkatan kerja di beberapa propinsi tersebut memberikan implikasi terhadap
perlunya peningkatan mobilitas penduduk dan angkatan kerja antarpropinsi,
khususnya antara propinsi-propinsi di Jawa seperti Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang kelebihan angkatan kerja masing-masing sebanyak 644 ribu dan
316 ribu orang, dengan propinsi-propinsi di luar Jawa yang kekurangan angkatan
kerja seperti pada 6 propinsi di wilayah KTI diatas dengan penekanan perlunya
pemberian insentif bagi peningkatan peranserta aktif dunia usaha di kawasan
tersebut.
Kinerja Investasi Pembangunan
Kawasan Timur Indonesia
Pembangunan ekonomi yang selama
ini telah menghasilkan pertumbuhan yang tinggi ternyata belum sepenuhnya
dapat mengatasi permasalahan kesenjangan antardaerah tersebut. Perbedaan
laju pembangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran
dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan
barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, dan antara daerah perkotaan
dan daerah perdesaan.
Untuk mengurangi kesenjangan yang
masih ditemui selama PJP I, dalam PJP II yang dimulai pada Repelita VI,
investasi pemerintah menjadi sarana yang penting untuk memacu pembangunan
daerah yang tertinggal. Sehubungan dengan itu dikembangkan kebijaksanaan
alokasi investasi pemerintah yang lebih besar ke kawasan di luar Jawa khususnya
pada propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia, untuk mendorong investasi
swasta ke kawasan yang sama, dan pertumbuhan ekspor nonmigas pada kawasan
di luar Jawa.
Dalam Repelita VI propinsi-propinsi
di KTI akan memperoleh kenaikan pangsa investasi pemerintah dari 26% pada
tahun 1993 menjadi 27,6% pada tahun 1998. Pada akhir PJP II, pangsa yang
diperoleh propinsi-propinsi di wilayah KTI diperkirakan akan meningkat
menjadi sekitar 30%.
Kondisi yang sama diharapkan juga
terjadi terhadap alokasi investasi swasta kepada wilayah di luar Jawa,
sehingga pangsa investasi pemerintah di Jawa akan menurun dari 73,6% pada
awal Repelita VI menjadi sekitar 71,7% pada akhir Repelita VI, sedangkan
pangsa wilayah KTI akan meningkat dari 11,4% menjadi 12,6% selama periode
yang sama.
Percepatan pertumbuhan pembangunan
wilayah yang relatif tertinggal tersebut juga akan memberikan implikasi
yang cukup nyata pada reorientasi ekspor nonmigas. Secara rata-rata, ekspor
diperkirakan akan tumbuh sekitar 16,8% per tahun selama kurun waktu Repelita
VI. Khusus untuk wilayah KTI, pertumbuhan ekspor nonmigasnya diperkirakan
akan sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.
Sesuai dengan komitmen pemerintah
untuk memperbesar alokasi investasi pemerintah di wilayah KTI, maka rencana
alokasi pengeluaran rupiah murni investasi pemerintah tahun anggaran 1996/97
untuk wilayah KTI adalah sebesar Rp.6.486,5 miliar atau 29,4% dari total
rencana alokasi investasi pemerintah sebesar Rp.22.089,1 miliar. RAPBN
tahun anggaran 1996/97 untuk wilayah KTI menunjukkan adanya kenaikan sebesar
21,5% dibandingkan dengan alokasi APBN tahun anggaran 1995/96 untuk wilayah
yang sama, yang besarnya Rp.5.339,2 miliar. Kenaikan sebesar 21,5% tersebut
relatif lebih besar bila dibandingkan dengan kenaikan anggaran pemerintah
baik yang diperoleh wilayah KBI yang hanya sebesar 14,2% maupun kenaikan
secara nasional yang besarnya 16,1%.
Dilihat dari distribusi regional
investasi, dalam periode 1983-1990, terlihat masih kecilnya investasi di
KTI, baik investasi pemerintah (28,5%) maupun investasi swasta (8,4%) meskipun
ada kecenderungan peningkatan dari periode sebelumnya, yaitu 23,9% untuk
investasi pemerintah dan 7,7% untuk investasi swasta. Dengan mengikuti
skenario pembangunan regional yang telah digariskan dalam Repelita VI diperlukan
laju pertumbuhan investasi pemerintah (DIP dan Inpres) yang lebih tinggi
dari rata-rata nasional untuk semua daerah tingkat I di luar Jawa. Implikasinya
terhadap wilayah KTI akan memperoleh kenaikan pangsa investasi pemerintah
dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% pada tahun 1998. Pada akhir PJP
II, pangsa yang diperoleh propinsi-propinsi di wilayah KTI diperkirakan
akan meningkat menjadi sekitar 30%.
Skenario percepatan pertumbuhan
ekonomi wilayah tertinggal juga menunjukkan adanya reorientasi investasi
swasta ke wilayah luar Jawa. Sebagai hasilnya akan terlihat bahwa pangsa
investasi swasta di Jawa akan menurun dari 73,6% pada awal Repelita VI
menjadi sekitar 71,7% pada akhir Repelita VI, sedangkan pangsa wilayah
KTI akan meningkat dari 11,4% menjadi 12,6% selama periode yang sama. Implikasi
lainnya adalah pada reorientasi ekspor nonmigas. Berdasarkan skenario pertumbuhan
ekonomi makro nasional, kinerja pertumbuhan ekspor akan masih bergantung
pada propinsi-propinsi di Jawa. dengan adanya reorientasi investasi pemerintah
yang sekaligus diikuti dengan peningkatan investasi swasta ke wilayah di
luar Jawa, maka kinerja ekspor wilayah KTI diperkirakan juga akan lebih
tinggi dari rata-rata nasional, yaitu 12,7%.
Gambaran rencana alokasi investasi
pembangunan yang dikemukakan di atas sudah barang tentu masih perlu didukung
oleh partisipasi investasi dari pihak dunia usaha dan masyarakat, terutama
dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan keuangan Pemerintah. Oleh
sebab itu, upaya untuk menarik swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan daerah menjadi sangat penting untuk segera diwujudkan,
melalui peningkatan peranan pemerintah daerah dalam memberikan kemudahan
dan dukungan serta iklim yang baik bagi investasi masyarakat. Upaya tersebut
harus seiring dengan peningkatan dan pemantapan peran dan tugas aparat
sesuai bidang masing-masing, sehingga mampu menjamin terwujudnya optimisme
dan rasa aman investor.
Untuk itu, berkaitan dengan upaya
untuk menggalakkan dan mengkondisikan iklim investasi di wilayah KTI tersebut,
mulai tahun 1995 yang lalu DP-KTI telah mempersiapkan rancangan kebijaksanaan
penerapan insentif investasi di wilayah KTI. Berdasarkan hasil rapat pleno
DP-KTI, telah diidentifikasikan beberapa kebijakan insentif investasi yang
perlu diprioritaskan perwujudannya, yaitu:
- Pelaksanaan lebih cepat pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). Pasal tersebut mencakup insentif yang berkaitan dengan depresiasi dan amortisasi yang dipercepat, kompensasi kerugian dan pengurangan pajak atas Bentuk Usaha Tetap. Percepatan pelaksanaan pasal tersebut diatas meliputi: depresiasi dan amortisasi yang dipercepat, komposisi kerugian maksimal 10 tahun, dan pengurangan pajak atas Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari perusahaan asing di Indonesia dari 20% menjadi 5%. DP-KTI menyetujui usulan tersebut dan menyarankan agar penetapan Keputusan Menteri Keuangan yang lebih operasional sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah yang sudah ada dan koordinasinya dilakukan Departemen Keuangan.
- Insentif untuk subkontraktor yang beroperasi di KTI. Selama ini insentif pajak hanya diberikan kepada kontrak karya, sedangkan pengelolaan fasilitas penunjangnya dilakukan pihak lain. Karena itu, bentuk-bentuk insentif kepada pihak ketiga yang terlibat dalam kegiatan kontrak karya perlu dipikirkan. Untuk itu perlu dirumuskan juga insentif bagi pengusaha-pengusaha sub-kontraktor di KTI.
- Subsidi BBM untuk daerah terpencil yang dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan pembangunan. Sebagai salah satu wahana dalam meningkatkan pendapatan negara, disetujui subsidi untuk daerah-daerah terpencil yang ditujukan untuk pemerataan pendapatan antardaerah. Disarankan subsidi tidak saja melalui subsidi langsung BBM, akan tetapi upaya peralihan dan pengembangan sumber energi alternatif lainnya yang dapat menggantikan BBM, seperti listrik tenaga surya (PLTS). Dana subsidi tersebut antara lain dapat diperoleh dengan menaikkan harga BBM per liter di Jawa sebesar Rp10, Rp20 atau Rp30. Sebagai pelengkap terhadap kebijaksanaan insentif BBM untuk KTI tersebut, disarankan agar pengembangan dana 1-5 % dari laba BUMN dapat dipergunakan untuk membantu industri kecil, pengusaha ekonomi lemah, dan koperasi dalam mengusahakan PLTS, yang selanjutnya dapat dibebaskan pembayaran bunganya (melalui pengaturan khusus).
- Pembentukan kantor perizinan terpadu di Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II guna mempercepat proses perizinan. Usulan tersebut dimaksudkan untuk mempercepat proses perijinan, baik investasi maupun non-investasi di KTI. Pelaksanaan kegiatan ini dikordinasikan oleh Departemen Dalam negeri.
- Didirikan lembaga keuangan baru yang memberi insentif kredit untuk koperasi di daerah transmigrasi. Peraturan kredit pada Koperasi Primer untuk Para Anggota (KKPA) dalam rangka PIR Transmigrasi di KTI perlu diberikan kekhususan, dimana pengusaha PIR tersebut dapat dianggap sebagai Koperasi Primer, sehingga dapat memperoleh fasilitas KKPA. Hal ini sedang dikerjakan oleh pihak Departemen Keuangan.
- Selain itu, dalam rangka mempercepat perwujudan penciptaan peluang dan iklim investasi yang kondusip, saat ini tengah dipersiapkan rancangan Keputusan Presiden tentang Fasilitas Perpajakan atas Penanaman Modal di Kawasan Timur Indonesia.
Untuk lebih efektifnya penerapan kebijaksanaan
fiskal tersebut, perlu dilakukan kajian khusus terhadap jenis-jenis insentif
investasi yang bisa diberikan kepada investor di wilayah KTI. Untuk itu,
DP-KTI telah membentuk Tim Perumus Pemberian Insentif Investasi, yang bertugas
untuk merumuskan jenisjenis insentif investasi yang mungkin diberikan,
baik insentif fiskal maupun nonfiskal, dalam merangsang sektor dunia usaha
menanamkan modalnya di KTI.
Dalam rangka mengupayakan peningkatan
daya tarik investasi dunia usaha khususnya ke wilayah KTI, selain perlu
meningkatkan peran pemerintah daerah, beberapa prasarana dasar investasi
yang memadai perlu pula disediakan dengan harga yang lebih terjangkau.
Di samping itu, pemerintah akan mendorong penyediaan informasi dan peluang
usaha yang lebih baik untuk wilayah luar Pulau Jawa, khususnya wilayah
KTI, disertai kebijaksanaan fiskal dan moneter yang lebih memperhatikan
kepentingan dunia usaha dan investor swasta di kawasan tersebut.
Pengembangan Kawasan Andalan
di Kawasan Timur Indonesia
Dalam Repelita VI telah ditentukan
kawasan-kawasan andalan yang perlu dikembangkan dengan dukungan semua sektor
pembangunan. Di dalam strategi pembangunan daerah khususnya untuk wilayah
KTI diupayakan untuk mewujudkan keterkaitan fisik dan ekonomi antarwilayah,
termasuk kawasan cepat tumbuh (misalnya kawasan segitiga pertumbuhan),
kawasan perbatasan antarnegara dan kawasan andalan. Beberapa kawasan yang
potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan andalan beserta sektor unggulan
di wilayah KTI telah diidentifikasi dalam rencana tata ruang wilayah nasional
(RTRWN) yang secara keseluruhan berjumlah 56 kawasan, yang terdiri dari:
16 kawasan andalan di wilayah Kalimantan, 9 di wilayah Nusa Tenggara, 16
di wilayah Sulawesi, 4 di Maluku, dan 9 kawasan di Irian Jaya. Pada kenyataannya,
sebenarnya sebelum ditetapkan dalam RTRWN, penetapan kawasan andalan telah
dilakukan dengan basis potensi sumber daya alam unggulan di masing-masing
kawasan, seperti antara lain: kawasan tanaman pangan di Sulawesi Selatan,
Memberamo, Sumbawa Utara, Kendari, Gorontalo; kawasan perkebunan skala
besar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya; kawasan industri
perkayuan dan hutan tanaman industri di Kalimantan, Sulawesi dan Irian
Jaya; kawasan peternakan di Nusa Tenggara dan Irian Jaya; serta kawasan
perikanan di Maluku.
Dalam perkembangan selanjutnya,
melalui pembahasan intensif yang dilakukan DP-KTI selama tahun 1995, telah
ditetapkan 13 kawasan andalan prioritas yang diusulkan masing-masing propinsi,
yang dianggap paling mendesak untuk dikembangkan di masing-masing propinsi
di kawasan timur Indonesia. Kawasan andalan yang akan dikembangkan dalam
tahapan pertama adalah: Biak di Propinsi Irian Jaya, Pulau Seram di Propinsi
Maluku, Betano-Natarbora-Viqueque (BENAVIQ) di Propinsi Timor Timur, Mbay
di Propinsi NTT, Bima di Propinsi NTB, Manado-Bitung di Propinsi Sulawesi
Utara, Batui di Propinsi Sulawesi Tengah, Buton-Kolaka-Kendari (BUKARI)
di Propinsi Sulawesi Tenggara, Pare-pare di Propinsi Sulawesi Selatan,
DAS Kahayan-Kapuas-Barito (KAKAB) di Propinsi Kalimantan Tengah, Samarinda-Sanga
Sanga-Muara Jawa-Balikpapan (SASAMBA) di Propinsi Kalimantan Timur, Satui-Kusan-Kelumpang-Batulicin-Pulau
Laut (SAKUPANGBALAUT) di Propinsi Kalimantan Selatan, dan Sanggau di Propinsi
Kalimantan Barat. Salah satu kawasan andalan prioritas yaitu Biak di Propinsi
Irian Jaya, telah disepakati untuk ditetapkan pengembangannya sebagai daerah
otorita.
Dalam rangka lebih menjamin komimen
pemerintah pemerintah terhadap ketigabelas kawasan andalan tersebut, dipandang
perlu dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pengembangan
kawasan andalan prioritas di KTI.
Pengembangan kawasan andalan tersebut
dirancang tidak secara eksklusif (tersendiri), namun dikembangkan secara
terpadu saling terkait satu sama lain dengan: (i) pengembangan daerah sekitarnya
(hinterland) secara internal, (ii) kawasan andalan prioritas di propinsi
lainnya secara regional, dan (iii) kawasan pusat pertumbuhan lainnya di
belahan barat Indonesia, serta (iv) kawasan kerjasama subregional yang
berdekatan seperti BIMP-EAGA dan IMS-GT.
Selain dari pengembangan kawasan
andalan prioritas, diupayakan pula pengembangan kota-kota prioritas sebagai
pusat-pusat ekonomi perkotaan dalam kawasan-kawasan andalan sebagai suatu
kesatuan struktur wilayah, seperti pusat pertumbuhan wilayah nasional di
Ujung Pandang, Manado, Pontianak, Banjarmasin, Kupang dan Jayapura, serta
pusat-pusat pertumbuhan antarwilayah di Balikpapan, Samarinda, Palangkaraya,
Mataram, Dili, Ambon, Merauke, Sorong, Palu, dan Kendari.
Pemantapan Posisi KTI dalam
menghadapi Era Perdagangan Bebas
Dalam kaitannya dengan kebijaksanaan
dasar pembangunan kawasan timur Indonesia (KTI), terutama untuk memantapkan
keterkaitan (linkages) dengan ekonomi global dan internasional, maka perlu
diciptakan pusat-pusat pertumbuhan dan andalan di kawasan timur Indonesia
yang mempunyai keterkaitan ekonomi dengan pusat-pusat pertumbuhan di luar
negeri. Untuk itu, arahan penataan ruang yang telah menetapkan pusat pertumbuhan
tingkat nasional (National Development Center) di kawasan timur Indonesia
perlu dipertimbangkan sebagai pusat pertumbuhan nasional yang potensial
yang dikaitkan dengan pusat pertumbuhan lainnya di luar negeri. Dengan
mencoba memanfaatkan potensi beberapa pusat pertumbuhan yang telah ada,
maka perlu dikembangkan kawasan pusat pertumbuhan di KTI seperti:
- pemantapan keterkaitan antar pusat pertumbuhan Kupang sebagai National Development Center (NDC) dengan Australia utara (Darwin-- Nothern Territory).
- pemantapan keterkaitan ekonomi antara pusat pertumbuhan Manado (NDC) dengan Filipina Selatan (Davao, Mindanao) dan Sabah (Serawak) melalui penciptaan Northern Growth Triangle di KTI.
- pemantapan keterkaitan antara pusat pertumbuhan nasional di Pontianak (NDC) dengan kawasan segitiga pertumbuhan SIJORI, yang dalam tahap awal dapat menciptakan keterkaitan antara pusat dan daerah belakangnya dan secara bertahap dapat ditingkatkan menjadi pusat yang sejajar tingkatnya.
- pemantapan kawasan pertumbuhan antara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, The Philippines -- East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA).
Kerjasama ekonomi regional dengan
negara-negara tetangga dalam mengembangkan suatu kawasan perlu dikembangkan,
seperti pada: (a) antara Kawasan Timur Indonesia bagian utara dengan Philipina
bagian selatan dan Malaysia bagian timur, dalam kerangka kerjasama ekonomi
regional BIMP-EAGA; (b) antara Kawasan Timur Indonesia bagian timur dengan
Papua Nugini dan negara-negara di kepulauan Pasifik, dalam kerangka kerjasama
ekonomi regional Arafura; (c) antara Kawasan Timur Indonesia bagian selatan
dengan Australia bagian utara, dalam kerangka kerjasama ekonomi regional
Arafura; dan (d) antara Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat
dengan Malaysia bagian Timur dan Brunei Darussalam, dalam kerangka kerjasama
ekonomi regional BIMP-EAGA.
Memperhatikan keterbatasan kemampuan
aparat pemerintahan di wilayah Kawasan Timur Indonesia, perlu dikembangkan
sistem informasi pembangunan daerah dan pengembangan wilayah yang akurat,
serta perlu dibarengi dengan kegiatan penelitian dan pengembangan wilayah
secara terpadu. Khususnya berkaitan dengan kerjasama antarpropinsi yang
akan dibangun dalam kawasan timur Indonesia, perlu difokuskan pada kawasan-kawasan
andalan prioritas yang telah ditetapkan untuk masing-masing propinsi, serta
untuk beberapa kawasan kerjasama yang melibatkan antarpropinsi, seperti
kawasan selat Makssar dan kawasan Laut Banda.
Seperti kita ketahui bersama bahwa
kebijaksanaan pemerintah untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
perlu diupayakan di seluruh tanah air, terutama di kawasan timur Indonesia
perlu ditingkatkan sebagai perwujudan Wawasan Nusantara. Untuk keperluan
tersebut pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk mengupayakan peningkatan
daya tarik investasi swasta ke wilayah KTI, selain berbagai prasarana dasar
yang memadai perlu disediakan pemerintah, juga penyediaan informasi dan
peluang usaha yang seimbang dengan yang diperoleh para investor di wilayah
KBI. Berkaitan dengan tingginya biaya investasi di kawasan timur Indonesia
perlu diimbangi dengan penurunan suku bunga dan fasilitas (kemudahan) lainnya,
seperti "Tax Holiday". Kebijaksanaan fiskal dan moneter yang telah memperhatikan
kepentingan para pengusaha (investor) di KTI, melalui kebijaksanaan khusus
yang diarahkan kepada pemberian kemudahan investasi perlu segera ditetapkan.
Sejalan dengan itu dukungan pelayanan sistem transportasi (laut dan udara)
yang efisien merupakan prasyarat untuk mengundang investasi swasta ke KTI.
Tindak Lanjut Pembangunan Kawasan
Timur Indonesia
Salah satu hasil keputusan pokok
Dewan Pengembangan KTI adalah perlu dilakukan upaya untuk mempercepat laju
investasi pihak swasta di wilayah KTI. Sebagai salah satu upaya untuk mencapai
laju pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam Repelita VI sebesar 7,1%
per tahun secara nasional dengan total investasi sebesar Rp815 triliun,
yang untuk wilayah KTI ditargetkan 7,5% per tahun dengan perkiraan jumlah
investasi sebesar Rp206 triliun selama Repelita VI, maka peranserta pihak
swasta dalam pembangunan di wilayah KTI perlu terus ditingkatkan.
Dalam rangka meningkatkan peranserta
investasi swasta tersebut, peranan investasi pemerintah terutama diarahkan
bagi pengadaan prasarana dasar maupun prasarana ekonomi, yang selanjutnya
diharapkan dapat merangsang investasi masyarakat terutama dari dunia usaha
untuk menggerakkan perekonomian secara keseluruhan. Diharapkan dengan adanya
penyesuaian sasaran laju pertumbuhan ekonomi tersebut, investasi pemerintah
di KTI akan dapat meningkat dari 26% pada tahun 1993 menjadi hampir 28%
pada akhir tahun Repelita VI. Dengan investasi pemerintah yang semakin
meningkat tersebut, diharapkan peranserta masyarakat dan dunia usaha akan
meningkat pula, yaitu dari 11% menjadi 13% pada kurun waktu yang sama.
Sehubungan dengan itu, wilayah KTI diharapkan mampu menarik sektor swasta
dan dunia usaha agar menanamkan modal dan mengembangkan potensi berbagai
sumber daya pembangunan di wilayah ini.
Tantangan utama yang dihadapi dalam
menciptakan iklim usaha yang menarik di wilayah KTI, adalah mengembangkan
kawasan dan pusat pertumbuhan agar dapat mendorong perkembangan kegiatan
ekonomi, memperluas lapangan kerja, dan sekaligus meningkatkan fungsi sebagai
pusat jasa distribusi bagi daerah-daerah yang berada di hinterlandnya.
Untuk itu, rencana pengembangan kawasan andalan prioritas sebagai suatu
kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) diharapkan dapat lebih berdayaguna
dan berhasilguna di dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan
nasional.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan
dalam rangka meningkatkan partisipasi sektor swasta untuk berkiprah membangunan
KTI antara lain melalui: (i) penyediaan prasarana dasar investasi yang
disediakan pemerintah dan terjangkau; (ii) penyediaan informasi dan peluang
investasi; (iii) penurunan suku bunga dan keringanan pajak yang memadai;
(iv) kebijaksanaan fiskal dan moneter yang lebih memperhatikan kepentingan
para investor; (v) dukungan pelayanan sistim transportasi (terutama laut
dan udara) yang efisien; (vi) desentralisasi kewenangan izin usaha dan
investasi kepada daerah untuk memperpendek jalur birokrasi dan prosedur
perizinan; (vii) pengembangan bersama komoditi unggulan agar memperoleh
dayaguna dan hasilguna yang lebih optimal, dan sekaligus mengembangkan
industri pengolahan untuk memperoleh nilai tambah yang maksimum bagi wilayah
KTI; dan (viii) mengembangkan kemitraan antara pengusaha kecil dan koperasi
dengan pengusaha lainnya, dengan pembinaan teknis yang lebih baik pada
pengusaha kecil dan koperasi.
Sejalan dengan itu, perlu pula
diupayakan peningkatan kinerja perekonomian wilayah KTI melalui penciptaan
kerjasama regional dengan negara tetangga yang berbatasan dengan wilayah
KTI, seperti: (i) antara KTI bagian Utara dengan Filipina, Malaysia dan
Brunei Darussalam; (ii) antara KTI bagian Timur dengan Papua Nugini dan
negara-negara kepulauan di Pasifik; (iii) antara KTI bagian selatan dengan
Australia bagian utara; dan (iv) antara Kalimantan Barat dan Kalimantan
Timur dengan Malaysia bagian timur dan Brunei Darussalam.
Dengan mempertimbangkan beberapa
permasalahan, potensi dan prospek pengembangan KTI tersebut, dapat disimpulkan
beberapa upaya yang perlu dilakukan dalam rangka percepatan pembangunan
KTI melalui: (i) peningkatan dukungan investasi pemerintah terhadap wilayah
yang tertinggal, yang sekaligus menciptakan dan memperbaiki iklim investasi
untuk menarik modal swasta; (ii) perwujudan keterkaitan fisik dan ekonomi
antarwilayah, termasuk pada kawasan cepat tumbuh, kawasan perbatasan antarnegara
dan kawasan andalan; (iii) pengembangan kota-kota prioritas sebagai pusat-pusat
ekonomi perkotaan dalam kawasan andalan sebagai suatu kesatuan struktur
wilayah, seperti pusat pertumbuhan wilayah nasional di Ujung Pandang, Menado,
Pontianak, Banjarmasin, dan pusat pertumbuhan antarwilayah di Balikpapan,
Samarinda, Mataram, dan Dili; serta (iv) pembentukan pusat-pusat pertumbuhan
dan kawasan andalan di KTI yang mempunyai keterkaitan ekonomi dengan pusat-pusat
pertumbuhan di luar negeri, seperti Kupang-Darwin dan BIMP-EAGA.
Beberapa langkah kebijaksanaan
di atas, perlu dibarengi dengan upaya untuk meningkatkan kinerja dan kemampuan
dari pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II se-KTI dalam rangka lebih
berperanserta aktif dalam pembangunan di daerahnya masing-masing. Sejalan
itu, upaya untuk lebih mendesentralisasikan wewenang dan tanggung jawab
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sangat tergantung dari kesiapan
dan kemampuan pemerintah daerah masing-masing, sekaligus dalam rangka mendukung
pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian, penjabaran kebijaksanaan dan
program pembangunan KTI tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, namun
lebih ditentukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan, guna dapat menjamin
keberlanjutannya.